Rasio P/E dan PBV kerap
dijadikan acuan untuk melihat mahal atau murah harga saham. Namun murah saja
tidak cukup. Investor mesti melihat valuasi fundamental. Dari sini, prospek
emiten bisa terbaca. Bagaimana saran para analis?
Seleksi dulu sebelum membeli. Saran ini juga berlaku bagi investor yang hendak membeli saham. Salah satu indikator yang kerap dijadikan pertimbangan adalah price to earning (P/E). Ini adalah rasio harga saham terhadap laba bersih per saham. Sebuah saham dikatakan murah jika rasio P/E lebih kecil dibanding P/E sektoralnya.
Analis Bahana Securities Salman Fajari Alamsyah berpendapat, jika ingin membandingkan dari sisi P/E sebaiknya memilih sektoral yang paling dekat dengan emiten tersebut. Tujuannya, agar mendapatkan perbandingan yang setara.
Salman mencontohkan sebaiknya PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) tidak diperbandingkan dengan PT Bank Bukopin Tbk (BBKP), melainkan dikomparasikan dengan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI). “Dibandingkan dengan saham-saham lain yang dari sisi aset dan perkembangan bisnisnya kurang lebih sama,” saran Salman.
Analis AM Capital Janson Nasrial bilang, selain P/E, rasio price to book value (PBV) juga menjadi indikator untuk menilai murah mahalnya suatu saham. Menurut dia, umumnya suatu saham tergolong murah jika memiliki PBV di bawah 2,5 kali. Penggunaan PBV lebih tepat jika digunakan untuk menilai saham perbankan.
Acuan lain yang disarankan Jansonm yakni price to earning growth (PEG). Ini adalah rasio yang mencerminkan P/E berbanding dengan ekspektasi pertumbuhan pendapatan. Saham yang bagus adalah saham dengan PEG di bawah 1. Rasio PEG cocok digunakan pada saham konsumsi.
Misal, PT Unilever Tbk (UNVR), yang menurut Janson, punya P/E 33 kali di 2013 dan earning growth mencapai 40 kali. Itu artinya PEG UNVR 0,85 atau masih di bawah 1. Earning growth bisa didapat dengan melihat pertumbuhan pendapatan historis di tahun-tahun sebelumnya.
Murah belum tentu layak koleksi Namun, memiliki rasio P/E, PBV, atau PEG yang mini saja tidak cukup. Analis Andalan Artha Advisindo (AAA) Sekuritas Andy Wibowo Gunawan bilang, mestinya investor juga mencermati kondisi fundamental perusahaan.
Alasan dia, tidak semua saham murah layak dikoleksi. Terutama, untuk investor yang berharap menempatkan dana untuk jangka panjang. “Kalau kinerjanya rugi, pasti harga sahamnya turun terus,” ujar Andy.
Selain itu, Andy juga menyarankan untuk melihat potensi kenaikan harga (potential upside). Dengan kondisi fundamental bagus dan P/E rendah, dia baru merekomendasikan beli jika harga saham setidaknya masih lebih murah 10% dari harga wajar. Jika potensi keuntungan yang bisa digenggam investor tidak mencapai sebesar itu, saham tersebut dikategorikan tidak murah. Apalagi, jika harga saham telah melampaui harga wajar. Berarti, saham tersebut telah mahal.
Harga wajar ini mencerminkan kemampuan dan prospek fundamental dari emiten tersebut. Anda bisa mencari tahu harga wajar sebuah saham dari riset yang dikeluarkan para analis. Janson menandaskan, tingkat utang pun mesti menjadi sorotan. Sebab, seringkali P/E emiten menjadi kecil lantaran terpengaruh tingkat utang alias net gearing ratio tinggi. “Kalau utang sangat tinggi, harga saham tidak akan naik dan P/E menjadi kecil,” ujar dia. Net gearing ratio adalah tingkat utang yang sudah dikurangi kas berbanding modal.
Seleksi dulu sebelum membeli. Saran ini juga berlaku bagi investor yang hendak membeli saham. Salah satu indikator yang kerap dijadikan pertimbangan adalah price to earning (P/E). Ini adalah rasio harga saham terhadap laba bersih per saham. Sebuah saham dikatakan murah jika rasio P/E lebih kecil dibanding P/E sektoralnya.
Analis Bahana Securities Salman Fajari Alamsyah berpendapat, jika ingin membandingkan dari sisi P/E sebaiknya memilih sektoral yang paling dekat dengan emiten tersebut. Tujuannya, agar mendapatkan perbandingan yang setara.
Salman mencontohkan sebaiknya PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) tidak diperbandingkan dengan PT Bank Bukopin Tbk (BBKP), melainkan dikomparasikan dengan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI). “Dibandingkan dengan saham-saham lain yang dari sisi aset dan perkembangan bisnisnya kurang lebih sama,” saran Salman.
Analis AM Capital Janson Nasrial bilang, selain P/E, rasio price to book value (PBV) juga menjadi indikator untuk menilai murah mahalnya suatu saham. Menurut dia, umumnya suatu saham tergolong murah jika memiliki PBV di bawah 2,5 kali. Penggunaan PBV lebih tepat jika digunakan untuk menilai saham perbankan.
Acuan lain yang disarankan Jansonm yakni price to earning growth (PEG). Ini adalah rasio yang mencerminkan P/E berbanding dengan ekspektasi pertumbuhan pendapatan. Saham yang bagus adalah saham dengan PEG di bawah 1. Rasio PEG cocok digunakan pada saham konsumsi.
Misal, PT Unilever Tbk (UNVR), yang menurut Janson, punya P/E 33 kali di 2013 dan earning growth mencapai 40 kali. Itu artinya PEG UNVR 0,85 atau masih di bawah 1. Earning growth bisa didapat dengan melihat pertumbuhan pendapatan historis di tahun-tahun sebelumnya.
Murah belum tentu layak koleksi Namun, memiliki rasio P/E, PBV, atau PEG yang mini saja tidak cukup. Analis Andalan Artha Advisindo (AAA) Sekuritas Andy Wibowo Gunawan bilang, mestinya investor juga mencermati kondisi fundamental perusahaan.
Alasan dia, tidak semua saham murah layak dikoleksi. Terutama, untuk investor yang berharap menempatkan dana untuk jangka panjang. “Kalau kinerjanya rugi, pasti harga sahamnya turun terus,” ujar Andy.
Selain itu, Andy juga menyarankan untuk melihat potensi kenaikan harga (potential upside). Dengan kondisi fundamental bagus dan P/E rendah, dia baru merekomendasikan beli jika harga saham setidaknya masih lebih murah 10% dari harga wajar. Jika potensi keuntungan yang bisa digenggam investor tidak mencapai sebesar itu, saham tersebut dikategorikan tidak murah. Apalagi, jika harga saham telah melampaui harga wajar. Berarti, saham tersebut telah mahal.
Harga wajar ini mencerminkan kemampuan dan prospek fundamental dari emiten tersebut. Anda bisa mencari tahu harga wajar sebuah saham dari riset yang dikeluarkan para analis. Janson menandaskan, tingkat utang pun mesti menjadi sorotan. Sebab, seringkali P/E emiten menjadi kecil lantaran terpengaruh tingkat utang alias net gearing ratio tinggi. “Kalau utang sangat tinggi, harga saham tidak akan naik dan P/E menjadi kecil,” ujar dia. Net gearing ratio adalah tingkat utang yang sudah dikurangi kas berbanding modal.