Banyak umat muslim di Indonesia yang masih ragu
halal-haram berinvestasi reksa dana. Banyak yang belum yakin apakah reksa dana
tidak bertentangan dengan kaidah Islam.
Untuk menjawab keraguan ini, Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) sebenarnya telah mengeluarkan fatwa No.
20/DSN-MUI/IV/2001 (dokumen lengkap klik tautan ini) yang membolehkan kaum muslim untuk
berinvestasi reksa dana, khususnya reksa dana syariah.
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu dalam muamalah (jual
beli) diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariah. Apalagi, kini
banyak bermunculan produk reksa dana syariah, yang terikat dengan dua akad --
yang sesuai dengan syariat Islam -- yakni akad wakalah dan mudharabah.
Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh suatu
pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Akad ini berlaku
antara pemodal dengan Manajer Investasi (pengelola investasi reksa dana).
Pemodal memberikan mandat kepada Manajer Investasi untuk melaksanakan kegiatan
investasi bagi kepentingan pemodal sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam
Prospektus Reksa Dana.
Adapun mudharabah adalah di mana seseorang
memberikan hartanya kepada orang lain untuk diperdagangkan dengan ketentuan bahwa
keuntungan yang diperoleh dibagi di antara kedua belah pihak, sesuai dengan
syarat-syarat yang disepakati. Akad ini berlaku antara Manajer Investasi dengan
investor atau nasabah.
Reksa dana syariah
Reksa dana sendiri sebetulnya merupakan kumpulan aset
investasi yang dikelola oleh Manajer Investasi. Aset investasi reksa dana
berbagai macam, di antaranya adalah: deposito, surat utang (obligasi) dan
saham. Untuk reksa dana syariah, aset investasi tersebut dipilih yang sesuai
dengan prinsip syariah.
Deposito dan obligasi yang dianggap sesuai dengan
prinsip syariah adalah yang menggunakan akadijarah (sewa menyewa) maupun mudharabah (bagi
hasil).
Bagaimana dengan saham?
Investasi saham juga diperbolehkan oleh MUI berdasarkan
fatwa No. 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Pasar Modal (dokumen lengkap klik tautan ini). Syaratnya, perusahaan yang menerbitkan
saham tersebut tidak menjalankan kegiatan yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah seperti usaha perjudian; lembaga keuangan konvensional (ribawi);
ataupun memproduksi, mendistribusikan, serta memperdagangkan makanan dan
minuman yang haram maupun barang dan jasa yang merusak moral dan bersifat mudharat(tidak
memiliki manfaat).
Selain itu, transaksinya juga harus sesuai dengan ajaran
Islam, yakni tidak mengandung unsur spekulasi (judi) atau tanpa alasan yang
jelas, transaksi menggunakan marjin, transaksi jual terlebih dahulu baru
membeli (short selling) dan transaksi memanfaatkan informasi orang
dalam (insider trading).
Saham-saham yang dinilai telah sesuai syariah tercantum
dalam Daftar Efek Syariah (DES), Jakarta Islamic Index (JII), dan Indonesia
Sharia Stock Index (ISSI).
Manajer Investasi yang mengelola reksa dana syariah
harus mematuhi prinsip-prinsip tersebut.
Kenapa reksa dana syariah
Pertanyaannya kini: kalau memang ada banyak aset
investasi yang sudah berprinsip syariah, mengapa harus membeli reksa dana
syariah? Mengapa kita tidak langsung saja berinvestasi pada deposito syariah,
obligasi syariah, maupun saham syariah?
Dibandingkan dengan deposito maupun obligasi syariah,
dengan berinvestasi reksa dana syariah kita bisa berharap meraih keuntungan
yang lebih tinggi. Reksa dana syariah dalam lima tahun terakhir terbukti
memberikan keuntungan investasi (return) sekitar 40-71 persen, demikian
berdasarkan data Bareksa. Artinya, setiap tahun rata-rata keuntungan
mencapai 8-14 persen dan tidak dipotong pajak. Bandingkan dengan bagi hasil
deposito syariah yang rata-rata hanya memberikan keuntungan 5 persen per tahun
dan masih harus dipotong pajak.
Sumber: Bareksa.com