Fokus dari value
investing adalah mencari saham-saham yang dijual di bawah harga wajarnya.
Biasanya, sumber informasi utama saat melakukan perburuan tersebut adalah
dengan melihat nilai PER (price to earning ratio) dan P/BV (price to book value).
Anggapan umum yang sering digunakan adalah dengan membandingkan kedua rasio
tersebut dengan saham-saham lain pada industri yang sama. Pada titik
tersebutlah, investor terkadang menghadapi value trap. Saham yang dianggap
murah ternyata tidak semurah yang diduga. Pada kondisi normal, harga saham akan
secara efisien mengikuti true value-nya. Dengan demikian, sangat mungkin
saham yang dihargai dengan PER atau PBV rendah karena ada alasan yang kuat yang
mendasarinya. Lalu bagaimana cara menghindarinya? Market akan berubah
menjadi tidak efisien saat terjadi bubble atau crash. Pada kedua
kondisi tersebut, pelaku pasar akan bersifat overreaktif. Harga saham tidak
hanya dipengaruhi oleh kondisi fundamentalnya, melainkan juga oleh kondisi
psikologis para pelakunya. Secara alamiah, manusia akan melakukan apa pun yang
mungkin ketika berhadapan dengan bahaya dan terkadang bertindak di luar akal
sehat. Perilaku yang sama juga biasanya terlihat saat terjadi bubble. Para
investor cenderung optimistik dan memburu saham-saham yang harganya diharapkan
dapat naik lebih tinggi lagi. Salah satu contoh yang pernah terjadi adalah bubble harga
minyak tahun 2007 serta dotcom boom tahun 2000-an.
Mahaguru value
investing, Benjamin Graham sendiri sangat menyadari ancaman value trap ini.
Oleh karena itu dia selalu mendiversifikasikan portfolionya. Dalam satu waktu,
Ben Graham dapat memiliki ratusan saham untuk meminimalisasi efek dari value
trap pada beberapa saham yang dimilikinya. Muridnya, Warren Buffett
memperbaiki strategi investasi Benjamin Graham dengan mencoba menghindari
saham-saham yang berpotensi menjadi value trap dan hanya berfokus
pada beberapa saham saja yang dianggapnya berpotensi untuk tumbuh.
Beberapa contoh dari value
trap adalah (sebagian telah dijelaskan oleh investopedia):
- PER atau PBV yang rendah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, seringkali suatu saham memiliki PER atau PBV yang rendah karena alasan yang kuat. Kemungkinan sahamnya dihargai murah karena bisnisnya sudah tidak bisa tumbuh pesat lagi atau malahan terus-menerus merugi. Selalu curiga pada saham-saham dengan PER atau PBV yang rendah. Selidiki laporan keuangannya secara mendalam untuk mengetahui bahwa saham tersebut bukan merupakan value trap.
- Saham-saham cyclical yang dihargai murah. Saham cyclical seperti saham otomotif ataupun retail umumnya akan melonjak labanya saat kondisi ekonomi membaik. Saat kondisi ekonomi memburuk, saham-saham tersebut akan menurun drastis kinerjanya dan dihargai sangat murah. Sebenarnya tidak masalah kita membeli saham-saham cyclical yang dihargai dengan sangat murah asalkan kita mau bersabar menunggu sampai dengan ekonomi berekspansi dan mendongkrak labanya.
- Tidak ada katalis. Perusahaan yang stuck bisnisnya dan tidak memiliki produk baru yang dapat diandalkan akan terjebak pada kondisi tersebut dan pasar akan menghukumnya dengan menghargai sahamnya dengan murah. Jika kita membeli saham perusahaan seperti ini, kemungkinan kita akan terjebak di dalamnya dan sulit untuk keluar.
- Memandang kinerja hanya dalam jangka waktu yang pendek. Dalam 1-2 tahun, ada kemungkinan perusahaan akan mendapatkan durian runtuh yang dalam jangka panjang mungkin akan sulit berlanjut. Jika kita menilai suatu perusahaan hanya berdasarkan kinerjanya dalam beberapa periode saja, kita akan menilai bisnisnya terlalu tinggi dan jatuh ke dalam perangkap value.
Pastikan bahwa kita
membeli saham-saham yang memiliki keunggulan kompetitif yang kuat untuk
menghindari value trap. Pastikan bahwa kondisi fundamentalnya memang benar-benar
bagus sebelum mulai membeli.
Sumber: https://parahita.wordpress.com